Lembaga Kotakota Suvono (Suvono Indonesia)
Di tengah-tengah fluktuasi pertumbuhan ekonomi, migrasi dan urbanisasi yang berdampak pada hampir semua kota di Indonesi dewasa ini, kota terus mengalami proses pencarian identitas dirinya. Pengaruh ekonomi danpergesekan komunikasi intra-/interkultural telah menciptakan ruang-ruang sosial dan kultural baru. Semakin menguatnya pengaruh ekonomi terhadap masyarakat kota, ruang-ruang kultural tergantikan oleh ruang-ruang ekonomi.
Misalnya, munculnya mal-mal, plaza, supermarket, hypermarket, telah memarjinalkan pasar-pasar tradisional yang merupkan bagian dari ekonomi kerakyatan.
Taman-taman kota sebagai "public space" sebagai ruang kultural dan bangunan-bangunan kuno yang merupakan 'heritage' ('warisan budaya' juga banyak mengalami dekonstruksi (kehancuran) menjadi ruang ekonomi.
Konsekuensi logisnya,dampak lingkungan tak dapat dihindari,yaitu polusi: lingkungan hidup, sosial dan kultural membuat masyarakat terjebak dalambudaya instant (tidak berorientasi pada proses). Kota yang semula diharapkan berperan dalam membangun peradaban masyarakat yang humanis, mengalami kegalauan dalam merespon tiap perkembangan sosiologis yang terjadi, yang diakibatkan oleh makin dominannya peran sektor ekonomi. Seolah-olah hanya peran ekonomi yang menjadi solusi problem kota. Tanpa didukung oleh sektor-sektor lain, kota akan gagap memahami dirinya. Oleh karena itu, perlu dilakukan rethinking bagaimana membangan peradaban dan kultur masyarakat kota yang harmonis dan dinamis serta ramah lingkungan.
Terkait dengan problem di atas, lahirlah Lembaga Kotakota Suvono (LKS) yang berusaha memfasilitasi interaksi/hubungan antarkota di Indonesia dengan kota-kota di luar negeri dalam perspektif sistercity di sektor pendidikan, kesenian dan kebudayaan. Lembaga ini lahir setelah terbentuknya Yayasan Suvono yang membidangi kerjasama antara dua kecamatan di bidang sosial - Sukun (Malang) dan Voorburg Noord (Voorburg Utara) - Voorburg-Belanda.
Saling bertukar informasi dan kerjasama di tiga sektor tersebut, diharapkan bisa membangan/memperkokoh identitas kota dalam merespon perkembangan terkini yang terjadi - dengan mengkolaborasikan aspek masa lalu dan masa kini - untuk mencapai kehidupan masa depan kota yang harmonis dan dinamis dalam spirit kemanusiaan.
V i s i :
a. Membangun dan menguatkan identitas kota.
b. Membangun persahabatan/persaudaraan antar masyarakat kota di Indonesia dan luar negeri dalam spirit kemanusiaan.
M i s i :
a. Memfasilitasi hubungan antar-kota di Indonesia dan luar negeri dalam kerangka sistercity.
b. Membangun jejaring kerja (networking) antar-kota di Indonesia dan lua negeri.
Tujuan:
a. Menciptakan hubungan kerjasama antarkota di bidang pendidikan, kesenian dan kebudayaan.
b. Saling bertukar informasi dan mencari solusi problem-problem perkotaan.
Makna kota:
Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum. Di Indonesia, sejak 1999 kata "kota" juga secara resmi telah menggantikan istilah kotamadya, meski hal ini belum diterapkan sepenuhnya karena masih ada kerancuan dengan istilah kota kecamatan.
Kotamadya (kini secara resmi bernama Kota) dalam konteks Indonesia adalah sebuah daerah urban (perkotaan) yang dipimpin oleh seorang walikota dan memiliki parlemen lokal yang disebut DPRD tingkat II. Kotamadya memiliki level yang sama dengan kabupaten. Perbedaan dengan Kabupaten hanya pada demografi, luas, dan sektor usaha utama daerah.
Dengan berlakunya undang-undang tentang otonomi daerah, Pemerintah Daerah Tingkat II berubah menjadi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan kotamadya berubah menjadi Pemerintah Kota (Pemkot). Dalam masa pemerintahan Hindia Belanda (Nederlands Indie), kotamadya disebut gemeente.
Kabupaten adalah sebah daerah administratif di bawah provinsi dan dikepalai oleh seorang bupati. Dulu nama ini hanya dipakai di pulau Jawa dan Madura saja, tetapi dalam Negara Indonesia, nama ini dipakai di seluruh Indonesia.
Dalam bahasa Belanda, kabupaten disebut regentschap. Secara harafiah ini artinya adalah daerah seorang regent atau wakil penguasa. Yang dimaksud dengan penguasa ini tentunya adalah sang raja.
Dengan berlakunya undang-undang tentang otonomi daerah, Pemerintah Daerah Tingkat II berubah menjadi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan kotamadya berubah menjadi Pemerintah Kota (Pemkot). Wilayah kabupaten dan kotamadya yang merupakan daerah tingkat II dibagi dalam wilayah-wilayah kecamatan. Apabila dipandang perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya, dalam wilayah kabupaten dapat dibentuk kota administratif.